Jumat, 23 Mei 2014

feature


Semua Harus Dibaca


Pukul 15.30, Sabtu 22 Februari 2014. Kami berkumpul di suatu tempat untuk segera mendatangi rumah salah seorang sastrawan asal Padang. Kami berjalan di sebuah gang kecil, terlihat di sebuah rumah sederhana dengan cat berwarna putih dan pagar hitam seorang bapak memakai kaos  oblong hitang, celana jeans hitam, rambut panjang terurai sebahau dan brewokan. Dengan perasaan cemas, jantung sedikit berdebar kami menemui bapak tersebut. Awalnya kami mengira bapak tersebut galak, ternyata setelah kami mengobrol dengan bapak itu, dugaan kami salah. Bapak itu ternyata tak segalak yang kami bayangkan. Muhammad Ibrahim Ilyas, merupakan seorang penyair dan penulis naskah drama. Lahir di padang 28 Januari 1963. Beliau telah menghasilkan beberapa puisi, puisinya dimuat di antologi, diantaranya  lirik Kemenangan (Taman Budaya Yogyakarta, 1994), Amsal Sebuah Patung (Borobudur Award, 1995), Dampak 70 Kemala (2011), dan Akulah Musi (Dewan Kesenian Sumatera Selatan, 2011), Tuah Tara No Ate (Temu Sastrawan Indonesia 2011) dan Menyirat Cinta Hakiki (Numera, 2011). Dramanya, Cabik, dimuat dalam antologi Napi (Taman Budaya Yogyakarta, 1994). Selain menulis puisi dan naskah drama, beliau juga telah melahirkan beberapa buku Hoerijah Adam : Barabah yang Terbang Tak kembali, diterbitkan tahun 1991 dan Poetical Form of Syahrizal (ed), Yogyakarta, 1995), Dalam Tubuh Waktu, Tiga Lakon Muhammad Ibrahim Ilyas (2013).
Kami berbincang-bincang dengan bapak Bram, begitu sapaan akrabnya. Kami membicarakan kehidupan pribadi kami, maupun pak Bram. Kami melanjutkan pembicaraan mengenai sastra dan mengenai puisi. Menurut bapak 3 orang anak ini, menulis yang paling baik itu adalah pada saat SMA, bagaimana selanjutnya anak tersebut meneruskan menulis atau tidaknya tergantung anak itu sendiri, ‘’ bapak mulai menulis saat SMA kira-kira usia 16 tahun,’’ kata bapak yang pernah menjadi redaktur di beberapa penerbitan di Padang ini.  kalau ingin menjadi seorang penulis atau penyair harus banyak membaca, tidak hanya membaca buku, tetapi juga membaca keadaan sekitar, karena dalam menulis sebuah puisi tidak asal-asalan, tetapi juga membutuhkan pengetahuan, karena tanpa pengetahuan penulis tidak bisa menulis karya yang bagus, maka dari itu membaca merupakan hal yang penting dalam menulis.
 Ketika ingin tidur, apa yang dipikirkam bisa saja menjadi sebuah puisi dan apa yang dilihat pada siang hari bisa juga menjadi sebuah puisi, hal itulah yang sering dilihat oleh seorang penyair.’’saya lebih memilih menulis pada malam hari saat semua pekerjaan telah selesai, karena saya merasa lebih tenang,’’ungkap bapak yang telah menamatkan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Fakultas seni pertunjukan ini, ‘’kadang-kadang saat kita melihat puisi kita beberapa tahun yang lalu, pasti ada saja diksi yang salah atau tidak sesuai, kita bisa saja mengubahnya, tetapi hanya mengubah diksinya bukan maksud dan isi dari puisi tersebut,’’lanjutnya.
Menulis bermula dari apa yang dilihat dan apa yang dirasakan. Latar menulis kreatif adalah memikirkan sesuatu yang baru, menciptakan sesuatu yang berbeda dari karya orang lain. ‘’kita harus kreatif dalam menulis sebuah puisi, saat daun jatuh, saat kita melihat pengemis, hal tersebut bisa kita jadikan sebuah puisi,’’ ujar bapak yang pernah menyutradarai Dendang Waktu (2012), Malin Kundang karya Wirsan Hadi (2011), Tarik Balas(2002), Pekik Sunyi dan masih banyak teater lainnya yang beliau sutradarai.
Bapak Bram terlihat amat serius saat memberikan argumennya. Di tengah-tengah pembicaraan kami sedikit bergurau dengan beliau. Lalu kami dipersilahkan minum. Setelah itu kami melanjutkan pembicaraan. Pak Bram pernah memenangkan beberapa sayembara penulisan naskah drama dan puisi di padang, Yogyakarta dan Bandung antara tahun 1986-1996. Beliau mengungkapkan bahwa sastrawan yang menginspirasinya adalah Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bahri, W.S Rendra dengan puisi baladanya, Taufik Ismail dengan puisi bercerita dan Afrizal Malna,’’belum ada yang menggantikan Chairil Anwar bagi saya,’’ Ujar pak Bram sambil mengisap rokok di tangannya. Setelah selesai bercakap-cakap dengan bapak Bram, kami berencana untuk pamit. Tiba-tiba hujan turun, kami memutuskan untuk menunggu hujan reda terlebih dahulu. Kebetulan adzan magrib berkumandang, kami menyegerakan sholat terlebih dahulu, setelah itu hujan pun reda, kami berpamitan kepada bapak Bram untuk segera pulang. Beliau melepas kami pulang dengan goresan senyum di bibirnya.






TUGAS KELOMPOK I
Feature Sastrawan
Muhammad Ibrahim Ilyas
oleh
Helmi Yeni
Lina Novita Sari   12080204
Melda Leni
Rahma Syafitri     12080189
Rinto Hardi
Sarini Fitrah
Yeni Tri Yulita
Yusli Widya wati 12080183
Sesi F

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
( STKIP ) PGRI SUMATRA BARAT
PADANG
2014

0 komentar:

Posting Komentar