Semua
Harus Dibaca
Pukul
15.30, Sabtu 22 Februari 2014. Kami berkumpul di suatu tempat untuk segera
mendatangi rumah salah seorang sastrawan asal Padang. Kami berjalan di sebuah
gang kecil, terlihat di sebuah rumah sederhana dengan cat berwarna putih dan
pagar hitam seorang bapak memakai kaos
oblong hitang, celana jeans hitam, rambut panjang terurai sebahau dan brewokan. Dengan perasaan cemas, jantung
sedikit berdebar kami menemui bapak tersebut. Awalnya kami mengira bapak
tersebut galak, ternyata setelah kami
mengobrol dengan bapak itu, dugaan kami salah. Bapak itu ternyata tak segalak
yang kami bayangkan. Muhammad Ibrahim Ilyas, merupakan seorang penyair dan
penulis naskah drama. Lahir di padang 28 Januari 1963. Beliau telah
menghasilkan beberapa puisi, puisinya dimuat di antologi, diantaranya lirik
Kemenangan (Taman Budaya Yogyakarta, 1994), Amsal Sebuah Patung (Borobudur Award, 1995), Dampak 70 Kemala (2011), dan Akulah
Musi (Dewan Kesenian Sumatera Selatan, 2011), Tuah Tara No Ate (Temu Sastrawan Indonesia 2011) dan Menyirat Cinta Hakiki (Numera, 2011).
Dramanya, Cabik, dimuat dalam
antologi Napi (Taman Budaya
Yogyakarta, 1994). Selain menulis puisi dan naskah drama, beliau juga telah
melahirkan beberapa buku Hoerijah Adam
: Barabah yang Terbang Tak kembali,
diterbitkan tahun 1991 dan Poetical Form
of Syahrizal (ed), Yogyakarta, 1995), Dalam
Tubuh Waktu, Tiga Lakon Muhammad
Ibrahim Ilyas (2013).
Kami
berbincang-bincang dengan bapak Bram, begitu sapaan akrabnya. Kami membicarakan
kehidupan pribadi kami, maupun pak Bram. Kami melanjutkan pembicaraan mengenai
sastra dan mengenai puisi. Menurut bapak 3 orang anak ini, menulis yang paling
baik itu adalah pada saat SMA, bagaimana selanjutnya anak tersebut meneruskan
menulis atau tidaknya tergantung anak itu sendiri, ‘’ bapak mulai menulis saat
SMA kira-kira usia 16 tahun,’’ kata bapak yang pernah menjadi redaktur di
beberapa penerbitan di Padang ini. kalau
ingin menjadi seorang penulis atau penyair harus banyak membaca, tidak hanya
membaca buku, tetapi juga membaca keadaan sekitar, karena dalam menulis sebuah
puisi tidak asal-asalan, tetapi juga membutuhkan pengetahuan, karena tanpa
pengetahuan penulis tidak bisa menulis karya yang bagus, maka dari itu membaca
merupakan hal yang penting dalam menulis.
Ketika ingin tidur, apa yang dipikirkam bisa
saja menjadi sebuah puisi dan apa yang dilihat pada siang hari bisa juga
menjadi sebuah puisi, hal itulah yang sering dilihat oleh seorang penyair.’’saya
lebih memilih menulis pada malam hari saat semua pekerjaan telah selesai,
karena saya merasa lebih tenang,’’ungkap bapak yang telah menamatkan kuliah di
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Fakultas seni pertunjukan ini,
‘’kadang-kadang saat kita melihat puisi kita beberapa tahun yang lalu, pasti
ada saja diksi yang salah atau tidak sesuai, kita bisa saja mengubahnya, tetapi
hanya mengubah diksinya bukan maksud dan isi dari puisi tersebut,’’lanjutnya.
Menulis
bermula dari apa yang dilihat dan apa yang dirasakan. Latar menulis kreatif
adalah memikirkan sesuatu yang baru, menciptakan sesuatu yang berbeda dari
karya orang lain. ‘’kita harus kreatif dalam menulis sebuah puisi, saat daun
jatuh, saat kita melihat pengemis, hal tersebut bisa kita jadikan sebuah
puisi,’’ ujar bapak yang pernah menyutradarai Dendang Waktu (2012), Malin
Kundang karya Wirsan Hadi (2011), Tarik
Balas(2002), Pekik Sunyi dan
masih banyak teater lainnya yang beliau sutradarai.
Bapak
Bram terlihat amat serius saat memberikan argumennya. Di tengah-tengah
pembicaraan kami sedikit bergurau dengan beliau. Lalu kami dipersilahkan minum.
Setelah itu kami melanjutkan pembicaraan. Pak Bram pernah memenangkan beberapa
sayembara penulisan naskah drama dan puisi di padang, Yogyakarta dan Bandung
antara tahun 1986-1996. Beliau mengungkapkan bahwa sastrawan yang
menginspirasinya adalah Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bahri, W.S Rendra
dengan puisi baladanya, Taufik Ismail dengan puisi bercerita dan Afrizal
Malna,’’belum ada yang menggantikan Chairil Anwar bagi saya,’’ Ujar pak Bram
sambil mengisap rokok di tangannya. Setelah selesai bercakap-cakap dengan bapak
Bram, kami berencana untuk pamit. Tiba-tiba hujan turun, kami memutuskan untuk
menunggu hujan reda terlebih dahulu. Kebetulan adzan magrib berkumandang, kami
menyegerakan sholat terlebih dahulu, setelah itu hujan pun reda, kami
berpamitan kepada bapak Bram untuk segera pulang. Beliau melepas kami pulang
dengan goresan senyum di bibirnya.
TUGAS KELOMPOK I
Feature Sastrawan
Muhammad Ibrahim Ilyas
oleh
Helmi
Yeni
Lina
Novita Sari 12080204
Melda
Leni
Rahma
Syafitri 12080189
Rinto
Hardi
Sarini
Fitrah
Yeni
Tri Yulita
Yusli
Widya wati 12080183
Sesi
F
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA
DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(
STKIP ) PGRI SUMATRA BARAT
PADANG
2014